Studi baru yang diterbitkan dalam Jurnal Science menyatakan laju deforestrasi Indoensia meningkat tajam belakangan ini, Berdasarkan lansiran resmi Mongabay.co.id, Indonesia kehilangan 15,8 juta hektar antara tahun 2000 dan 2012, peringkat kelima di belakang Rusia, Brasil, Amerika Serikat, dan Canada dalam hal hilangnya hutan. Penelitian yang dipimpin oleh Matt Hansen dari University of Maryland tersebut juga menemukan sekitar 7 juta hektar hutan ditanam selama periode tersebut.
Dari lima negara hutan di atas, berdasarkan persentase, maka Indonesia berada di peringkat pertama dari laju kehilangan hutan yaitu 8,4 persen. Dengan pertimbangan dan perbandingan atas hutan di Brasil hanya kehilangan separuh dari proporsi tersebut. Dari 98 persen kehilangan hutan di Indonesia, deforestasi terjadi di wilayah hutan berkerapatan tinggi yang ada di Sumatera dan Kalimantan, lokasi dimana konversi akibat hutan tanaman industri dan perkebunan sawit berkembang amat marak selama 20 tahun terakhir.
Pada tahun 2011/2012 tingkat kehilangan hutan mencapai level tertinggi sejak akhir tahun 1990-an meskipun pemerintah telah mengeluarkan larangan jeda tebang (moratorium) untuk kawasan 65 juta hektar kawasan hutan primer, lahan gambut, dan hutan lindung. Dengan angka-angka seperti ini Indonesia bisa mengatasi permasalahan ini dengan kearifan lokal (local wisdom) yang dimilikinya. Hutan telah lama dihuni oleh masyarakat bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka dan Undang-undang diberlakukan.
Sebagai contoh, masyarakat suku dayak berdomisili di pulau Kalimantan. Kata “Dayak” yang berasal dari bahasa Melayu yang artinya “orang gunung” yang termasuk rasial/proto pesisir.
Berdasarkan hasil sensus penduduk 2010, jumlah penduduk Kalteng mencapai 2.202.599 orang (data NG). Dikutip dari Matriks Rencana Aksi Strategi Daerah (STRADA) REDD+ provinsi Kalteng, suku Dayak mengetahui bahwa tanah gambut yang mereka tempati (disebut Petak Uwap) “tidak sesuai dengan pengembangan pertanian dan perkebunan”.
Masyarakat yang tinggal di hutan secara mayoritas lebih tahu cara-cara berhutan. Keberlanjutan hidup mereka sangat tergantung kepada hutan. Mereka menganggap hutan dan dirinya adalah satu kesatuan. Pembukaan wilayah dan sistem perberdayaan masyarakat hutan yang pemerintah gagas saat ini terbukti mengakselerasi deforestrasi bahkan memerosotkan fungsi asli hutan.
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara mengatakan pengelolaan hutan adat oleh masyarakat adat pada prinsipnya “Droit Inviolable Et Sacre” yaitu hak yang tidak dapat diganggu-gugat, bagi masyarakat dayak hutan adalah darah dan Napas (Apai Janggut, Sungai Utik) hal ini membuktikan hutan memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat dayak karena hutan menjadi sumber penghidupan dan tempat dilakukanya ritual-ritual adat.
Hal ini dapat kita lihat secara khusus di Kalimantan barat Hutan Adat memiliki 2 jenis yaitu Hutan Adat yang fungsinya boleh diambil hasilnya demi keberlangsungan hidup masyarakat, dalam pengelolaan hutan tersebut diatur oleh “hukum adat” (Temawank) dan yang ke-2 yaitu hutan keramat yaitu kawasan hutan yang digunakan untuk ritual ritual adat dan hutan ini hasilnya tidak boleh diambil siapa saja karena peruntukannya hanya digunakan untuk upacara adat (Padagi).
Direktur Tim Layanan Kehutanan Masyarakat, Muh. Ichwan mengatakan kearifan lokal harus dipulihkan oleh pemerintah. “masyarakat yang hidup di dalam dan kawasan hutan mesti dikonservasi dan dilindungi sesuai tempat hidup mereka masing-masing karena mereka adalah bagian dari hutan tersebut”, katanya saat di wawancarai di kantornya (28/03/2014).
Dalam beberapa pertemuan internasional yang membahas tentang hutan adat juga memberikan hasil yang sama untuk mendesak pemerintah memulihkan peran-peran local wisdom sebagai “senjata“ melawan deforestrasi dan perubahan iklim.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !